Keteguhan Pak Arifin, Petani Tembakau Sidomukti yang Berjuang Demi Masa Depan Anak Perempuannya


Oleh: Nur Awalalul Waladiyah*

Di Desa Sidomukti, sebuah desa kecil yang dikelilingi perbukitan hijau dan hamparan ladang
tembakau, hidup seorang petani bernama Pak Arifin. Ia bukan sosok yang mencolok.
Kesehariannya begitu sederhana: bangun ketika azan Subuh belum selesai dikumandangkan,
menjerang air untuk secangkir kopi, lalu berjalan ke ladang sambil membawa cangkul dan
karung bekas pupuk yang selalu ia pakai berulang-ulang. Namun di balik kesederhanaan itu,
tersimpan kisah perjuangan yang tidak semua orang mengetahuinya—kisah seorang ayah yang
ingin mengantarkan anaknya ke bangku kuliah, meskipun keadaan sering terasa berat.


Pak Arifin memiliki anak perempuan yang cerdas dan rajin belajar. Sejak masih sekolah
dasar, anak itu sudah menunjukkan minat besar pada pelajaran. Guru-gurunya sering
mengatakan bahwa ia adalah murid yang menonjol, bukan hanya karena nilai, tetapi karena
etika dan sikapnya. Ketika akhirnya ia lulus SMA, satu keinginan besarnya adalah melanjutkan
kuliah. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa mengangkat ekonomi keluarga, dan sekaligus
membuktikan bahwa anak petani pun bisa mendapatkan pendidikan tinggi. Namun perjalanan
menuju bangku kuliah tidak sesederhana impian itu. Meskipun anak Pak Arifin berprestasi,
beasiswa yang diharapkan tidak pernah didapat. Ia sudah mencoba berbagai jalur beasiswa
pemerintah, beasiswa kampus, hingga program bantuan mahasiswa berprestasi. Setiap kali
pengumuman keluar, ia selalu membuka laman pengumuman dengan hati berdebar. Dan setiap
kali itu pula, nama yang ia cari tak pernah muncul. Berkali-kali ia mencoba menenangkan diri
dengan mengatakan bahwa mungkin kuotanya sedikit, atau mungkin memang belum
rezekinya. Namun jauh di dalam hati, ada rasa kecewa yang sulit disembunyikan.

Sementara itu, Pak Arifin hanya bisa menghela napas saat mendengar jumlah UKT dari
kampus yang diincar anaknya. Angka itu cukup membuatnya terdiam beberapa menit. Ia tidak
marah, tidak menyalahkan siapa pun, hanya terdiam sambil memikirkan bagaimana seorang
petani dengan penghasilan tidak menentu bisa menanggung biaya sebesar itu. Tetapi meski
begitu, ia tidak sekalipun mengucapkan kata “tidak bisa”. Baginya, pendidikan adalah jalan
yang harus ditempuh anaknya, apa pun hambatannya.

Musim tembakau adalah tumpuan harapan Pak Arifin. Setiap tahun, ia seolah bersiap
untuk berjudi dengan cuaca, hama, dan harga pasar. Tidak ada kepastian. Kadang panen
berlimpah, tapi harga anjlok, kadang hasil sedikit, tapi harga naik. Namun tahun itu, ia bekerja
lebih keras dari biasanya. Ia mulai lebih sering berada di ladang, bahkan ketika matahari sedang
terik-teriknya. Ia merawat daun tembakau dengan teliti, membuang yang rusak, merapikan
yang terlalu lembap, memastikan jemurannya tidak terkena embun dini hari.

Tetangga-tetangganya pun menyadari perubahan itu. Ada yang sempat bertanya, “Fin,
kok saiki rajin tenan? Biasane Minggu istirahat.” Dengan senyum tipis, Pak Arifin menjawab,
“Namanya wong duwe kepengin, Pak. Anakku pingin kuliah. Yo tak coba sak kuatku.” Jawaban
itu sederhana, tetapi membawa arti besar. Di desa seperti Sidomukti, gotong royong dan saling
bantu bukan sekadar ajaran, tetapi sudah menjadi bagian dari hidup. Saat hujan turun mendadak
dan jemuran tembakau terancam basah, para tetangga sering datang membantu
mengangkatnya. Sebaliknya, ketika tetangga membutuhkan tenaga tambahan untuk
memindahkan tumpukan daun, Pak Arifin pun selalu hadir. Dari situ, nilai Gotong Royong
tercermin, bukan dalam teori, tetapi dalam tindakan nyata.

Pak Arifin sebenarnya tidak pernah memikirkan bahwa tindakannya mencerminkan
nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila yang sering didengungkan di sekolah-sekolah. Namun tanpa
ia sadari, sikapnya yang ulet dan mandiri menunjukkan nilai Kemandirian, cara ia menghormati
dan bekerja sama dengan tetangga mencerminkan Gotong Royong, dan kesabarannya dalam
menghadapi keadaan sulit menggambarkan Akhlak Mulia. Nilai-nilai itu justru tumbuh dari
kehidupan nyata, bukan dari buku panduan atau modul pelatihan. Anaknya, yang melihat
perjuangan ayahnya setiap hari, sebenarnya merasakan tekanan yang tidak ringan. Ia merasa
bersalah karena belum memberikan “kabar gembira” berupa beasiswa. Namun setiap kali ia
menunjukkan kecemasan, Pak Arifin selalu menenangkannya. “Lha kok sungkan? Tugasmu
belajar sing bener. Rejeki wong kuwi wis ono sing ngatur. Sing penting ora nyerah.” Kalimat
itu sederhana, tetapi menjadi pegangan kuat bagi anaknya untuk tetap melangkah.

Waktu panen pun tiba. Hasilnya tidak luar biasa, tetapi cukup baik. Pak Arifin berhasil
menjualnya dengan harga yang lumayan stabil. Meski masih jauh dari cukup untuk membayar
UKT, ia tetap bersyukur. “Sedikit-sedikit ngumpul, InsyaAllah dadi,” katanya. Ia mulai
menyisihkan uang, mengurangi kebutuhan pribadi yang sebenarnya sudah sederhana, dan
mengambil pekerjaan tambahan saat malam hari membantu tetangga memotong tembakau.
Semua dilakukan demi satu tujuan: pendidikan anaknya.

Perjuangan seperti ini sering kali tidak terlihat oleh orang luar. Tidak ada sorotan
kamera, tidak ada penghargaan, tidak ada ucapan terima kasih dari masyarakat luas. Namun
justru dalam kesunyian seperti ini, nilai kepahlawanan itu terasa nyata. Pak Arifin bukan
pahlawan nasional, tetapi ia adalah pahlawan di rumahnya. Ia tidak sedang menyelamatkan
negara, tetapi ia sedang mengubah masa depan keluarganya. Pengorbanan seorang ayah seperti
Pak Arifin menunjukkan bahwa harapan tidak selalu datang dari kemudahan, tetapi justru dari
kesulitan yang dihadapi dengan keteguhan. Ia mungkin hanya seorang petani tembakau, tetapi
dari telapak tangan yang kasar itulah lahir tekad anaknya untuk terus mengejar ilmu. Dari
langkah-langkahnya yang melewati tanah becek setiap pagi, tumbuh keyakinan bahwa
pendidikan adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik.

Di akhir perjuangannya, Pak Arifin tidak pernah meminta ucapan terima kasih atau
balasan. Yang ia inginkan hanya satu: melihat anaknya bisa kuliah, berdiri di tempat yang tidak
pernah ia bayangkan untuk dirinya sendiri. Dan dari seorang petani sederhana di Desa
Sidomukti, kita belajar bahwa cita-cita tidak pernah terlalu tinggi selama diperjuangkan dengan
hati yang tulus.

*) Juara 1 Lomba Menulis Esai “Semangat Hari Pahlawan 2025: Temukan Pahlawan di Sekitarmu” yang diselenggarakan oleh KSPP Syariah BMT NU Balen.

Tags :

Facebook
Twitter
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *